Kita telah melewati masa-masa pandemi selama lebih dari setahun
lamanya. Seluruh kegiatan sehari-hari kita mendadak harus banyak mengalami
perubahan yang cukup signifikan, terutama aktivitas di luar rumah. Hal ini
secara khusus terjadi bagi umat beragama di Indonesia dalam melaksanakan
praktik beribadah. Perihal beribadah, kegiatan berjamaah merupakan hal yang
sangat penting bagi umat beragama. Selama proses tersebut, beribadah secara
bersama atau berjamaah merupakan bentuk yang seringkali didahulukan. Hal tersebut
perlu dibatasi menurut pemerintah dikarenakan kegiatan massal di luar rumah
dapat beresiko menjadi tempat penyebaran virus Covid-19. Lantas, bagaimana umat
beragama melaksanakan kegiatan beribadah selama pandemi di Indonesia?
Dalam agama
Islam, terdapat kegiatan berjamaah seperti sholat lima waktu di masjid, sholat
jumat yang merupakan hal wajib bagi pria, sholat ied ketika hari raya idul
fitri, dan kegiatan lainnya seperti pengajian. Selama masa pandemi, terutama
pada awal masuknya wabah korona di Indonesia, aktivitas keagamaan tersebut
sangat dibatasi oleh pemerintah. Alhasil aktivitas-aktivitas tersebut untuk
sementara tidak dilakukan atau dilakukan dengan alternatif yang ada. Majelis
Ulama Indonesia sebagai majelis yang dipercayai oleh sebagian umat Islam dalam
tata syarat keagamaan memberikan fatwa dan aturan kegiatan beribadah selama
masa pandemi. Beberapa diantaranya adalah, bagaimana sholat jumat diganti
dengan sholat dzuhur, sholat ied ketika idul fitri yang tidak diwajibkan atau
dengan protokol kesehatan yang ketat¹, dan sejumlah kegiatan agama yang
dilakukan secara daring. Hal tersebut menjadi sangat penting bagi pemerintah
dalam usaha menekan penyebaran virus Covid-19.
Selama masa pandemi, kegiatan beribadah pemeluk Kristen dan Katolik di gereja
juga sangat dibatasi oleh pemerintah demi mencegah penyebaran wabah. Proses
ibadah seperti kebaktian pada awal pandemi dihimbau dilakukan secara daring
melalui media yang ada sesuai ketentuan masing-masing jamaat. Hal tersebut
kemudian juga berlaku dalam ibadah perihal perayaan hari besar, di mana
aktivitas beribadah daring menjadi alternatif proses peribadatan. Selain itu,
konsep gereja rumah juga digunakan dalam prosesi ibadah umat Kristen,
dikarenakan rumah sebagai unit sosial, ekonomi, dan religius².
Perisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis umat Hindu di
Indonesia turut menjadi patron bagi pemerintah dalam upaya pengendalian
penyebaran virus³. Himbauan PHDI dalam rangka menekan penyebaran adalah dengan
menghimbau umat hindu untuk melaksanakan ibadah di rumah masing-masing. Hal
tersebut kemudian memberikan kompensasi dalam perihal agama dengan pemaknaan
demi kepentingan yang lebih besar bagi umat, yaitu pandemi.
Sementara itu umat Buddha selama pandemi juga harus melakukan kegiatan
keagamaannya secara daring di rumah. Pada Puja Bakti Waisak 2564, ibadah Puja
Bakti Waisak dilakukan secara live streaming melalui
media daring. Tema yang relevan juga diambil pada Puja Bakti Waisak di Vihara
Dhanagun Suryakencana Kota Bogor, yang bertemakan ‘Mawas Diri dan Toleransi
dalam Menjaga Keharmonisan Bangsa Selama Pandemi’⁴. Prosesi Puja Bakti secara
langsung hanya dapat diikuti oleh 10 persen dari jumlah jemaat, serta diikuti
dengan pelaksanaan protokol kesehatan.
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) sebagai majelis
agama umat Khonghucu juga memberikan instruksi terkait pembatasan aktivitas
keagamaan dalam masa pandemi⁵. Sejak awal pandemi, MATAKIN menginstruksikan
seluruh umat Konghucu di Indonesia untuk melaksanakan prosesi ibadah harian
ataupun hari raya seperti imlek secara daring di rumah masing-masing, disertai
dengan protokol kesehatan yang berlaku. Selama masa pandemi umat Konghucu
diharap dapat mengambil makna bahwa umat harus dapat menyesuaikan diri dengan
alam dan keadaan. Selain itu, alternatif yang ada dilihat tidak mengurangi
pahala ataupun iman dari umatnya, karena yang terpenting dalam beriman adalah
hati, di mana merawat dan menjaga tubuh, serta keselamatan adalah bagian dari
Laku Bakti⁶.
Ibadah yang kita yakini sebagai suatu ritual suci merupakan kewajiban
bagi para penganutnya untuk dilaksanakan. Permasalahan pro dan kontra beribadah
di kala pandemi kemudian membawa kita untuk berpikir kembali terkait intensi
kita untuk beribadah. Apakah kita ibadah hanya untuk memenuhi kuantifikasi
kegiatan yang telah kita lakukan, atau memaknai ibadah itu sendiri dapat
disesuaikan demi kepentingan yang lebih besar tanpa mengurangi nilai
spiritualnya? Penyesuaian dalam aktivitas keagamaan berlaku untuk seluruh umat
beragama di Indonesia, tanpa terkecuali bagi penganut kepercayaan yang belum
diakui oleh negara, maupun penganut aliran kepercayaan penghayat. Kompromi yang
ada bermaksud untuk memahami hikmah bahwa improvisasi ibadah tidak serta merta
menghilangkan pahala, namun yang terpenting adalah niat dan hati dari umatnya.
Kesepakatan lembaga majelis agama di Indonesia juga kian mendasari dan meyakini
bahwa ibadah dalam hakikatnya dapat disesuaikan tanpa mengurangi keimanan para
penganutnya. Di mana meniatkan diri untuk menjaga satu sama lain menjadi aspek
yang sangat penting dalam beribadah di tengah pandemi.
Penulis: Fadhil Naufal
Penyunting: Cokorda Savita, Kezia Simanjuntak
[2] Djeffry Hidajat, “Gereja Di Rumah: Kontekstualisasi Fungsi-Fungsi
Rumah Dalam Masa Perjanjian Baru Untuk Pekabaran Injil,” Veritas : Jurnal
Teologi dan Pelayanan (2018).
[3]https://nasional.kompas.com/read/2020/03/28/15343921/ada-pandemi-covid-19-phdi-imbau-umat-hindu-tak-sembahyang-bersama
[4] https://tirto.id/merayakan-waisak-di-tengah-pandemi-covid-19-fni3
[5]https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/umat-konghucu-indonesia-rayakan-imlek-tahun-ini-secara-virtual/
[6]ibid
Artikel telah dimuat di platform Medium Alteria Lab:
https://alteria-lab.medium.com/proses-ritual-keagamaan-dalam-masa-masa-pandemi-1d6af66678a0
Ilustrasi: Anastasya Levina