Tuesday 11 May 2021


Kita telah melewati masa-masa pandemi selama lebih dari setahun lamanya. Seluruh kegiatan sehari-hari kita mendadak harus banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan, terutama aktivitas di luar rumah. Hal ini secara khusus terjadi bagi umat beragama di Indonesia dalam melaksanakan praktik beribadah. Perihal beribadah, kegiatan berjamaah merupakan hal yang sangat penting bagi umat beragama. Selama proses tersebut, beribadah secara bersama atau berjamaah merupakan bentuk yang seringkali didahulukan. Hal tersebut perlu dibatasi menurut pemerintah dikarenakan kegiatan massal di luar rumah dapat beresiko menjadi tempat penyebaran virus Covid-19. Lantas, bagaimana umat beragama melaksanakan kegiatan beribadah selama pandemi di Indonesia?

Dalam agama Islam, terdapat kegiatan berjamaah seperti sholat lima waktu di masjid, sholat jumat yang merupakan hal wajib bagi pria, sholat ied ketika hari raya idul fitri, dan kegiatan lainnya seperti pengajian. Selama masa pandemi, terutama pada awal masuknya wabah korona di Indonesia, aktivitas keagamaan tersebut sangat dibatasi oleh pemerintah. Alhasil aktivitas-aktivitas tersebut untuk sementara tidak dilakukan atau dilakukan dengan alternatif yang ada. Majelis Ulama Indonesia sebagai majelis yang dipercayai oleh sebagian umat Islam dalam tata syarat keagamaan memberikan fatwa dan aturan kegiatan beribadah selama masa pandemi. Beberapa diantaranya adalah, bagaimana sholat jumat diganti dengan sholat dzuhur, sholat ied ketika idul fitri yang tidak diwajibkan atau dengan protokol kesehatan yang ketat¹, dan sejumlah kegiatan agama yang dilakukan secara daring. Hal tersebut menjadi sangat penting bagi pemerintah dalam usaha menekan penyebaran virus Covid-19.

Selama masa pandemi, kegiatan beribadah pemeluk Kristen dan Katolik di gereja juga sangat dibatasi oleh pemerintah demi mencegah penyebaran wabah. Proses ibadah seperti kebaktian pada awal pandemi dihimbau dilakukan secara daring melalui media yang ada sesuai ketentuan masing-masing jamaat. Hal tersebut kemudian juga berlaku dalam ibadah perihal perayaan hari besar, di mana aktivitas beribadah daring menjadi alternatif proses peribadatan. Selain itu, konsep gereja rumah juga digunakan dalam prosesi ibadah umat Kristen, dikarenakan rumah sebagai unit sosial, ekonomi, dan religius².

Perisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis umat Hindu di Indonesia turut menjadi patron bagi pemerintah dalam upaya pengendalian penyebaran virus³. Himbauan PHDI dalam rangka menekan penyebaran adalah dengan menghimbau umat hindu untuk melaksanakan ibadah di rumah masing-masing. Hal tersebut kemudian memberikan kompensasi dalam perihal agama dengan pemaknaan demi kepentingan yang lebih besar bagi umat, yaitu pandemi.

Sementara itu umat Buddha selama pandemi juga harus melakukan kegiatan keagamaannya secara daring di rumah. Pada Puja Bakti Waisak 2564, ibadah Puja Bakti Waisak dilakukan secara live streaming melalui media daring. Tema yang relevan juga diambil pada Puja Bakti Waisak di Vihara Dhanagun Suryakencana Kota Bogor, yang bertemakan ‘Mawas Diri dan Toleransi dalam Menjaga Keharmonisan Bangsa Selama Pandemi’⁴. Prosesi Puja Bakti secara langsung hanya dapat diikuti oleh 10 persen dari jumlah jemaat, serta diikuti dengan pelaksanaan protokol kesehatan.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) sebagai majelis agama umat Khonghucu juga memberikan instruksi terkait pembatasan aktivitas keagamaan dalam masa pandemi⁵. Sejak awal pandemi, MATAKIN menginstruksikan seluruh umat Konghucu di Indonesia untuk melaksanakan prosesi ibadah harian ataupun hari raya seperti imlek secara daring di rumah masing-masing, disertai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Selama masa pandemi umat Konghucu diharap dapat mengambil makna bahwa umat harus dapat menyesuaikan diri dengan alam dan keadaan. Selain itu, alternatif yang ada dilihat tidak mengurangi pahala ataupun iman dari umatnya, karena yang terpenting dalam beriman adalah hati, di mana merawat dan menjaga tubuh, serta keselamatan adalah bagian dari Laku Bakti⁶.

Ibadah yang kita yakini sebagai suatu ritual suci merupakan kewajiban bagi para penganutnya untuk dilaksanakan. Permasalahan pro dan kontra beribadah di kala pandemi kemudian membawa kita untuk berpikir kembali terkait intensi kita untuk beribadah. Apakah kita ibadah hanya untuk memenuhi kuantifikasi kegiatan yang telah kita lakukan, atau memaknai ibadah itu sendiri dapat disesuaikan demi kepentingan yang lebih besar tanpa mengurangi nilai spiritualnya? Penyesuaian dalam aktivitas keagamaan berlaku untuk seluruh umat beragama di Indonesia, tanpa terkecuali bagi penganut kepercayaan yang belum diakui oleh negara, maupun penganut aliran kepercayaan penghayat. Kompromi yang ada bermaksud untuk memahami hikmah bahwa improvisasi ibadah tidak serta merta menghilangkan pahala, namun yang terpenting adalah niat dan hati dari umatnya. Kesepakatan lembaga majelis agama di Indonesia juga kian mendasari dan meyakini bahwa ibadah dalam hakikatnya dapat disesuaikan tanpa mengurangi keimanan para penganutnya. Di mana meniatkan diri untuk menjaga satu sama lain menjadi aspek yang sangat penting dalam beribadah di tengah pandemi.

Penulis: Fadhil Naufal

Penyunting: Cokorda Savita, Kezia Simanjuntak

[1] https://nasional.kompas.com/read/2020/07/30/15074561/ini-imbauan-pemerintah-soal-shalat-idul-adha-di-saat-pandemi-covid-19

[2] Djeffry Hidajat, “Gereja Di Rumah: Kontekstualisasi Fungsi-Fungsi Rumah Dalam Masa Perjanjian Baru Untuk Pekabaran Injil,” Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan (2018).

[3]https://nasional.kompas.com/read/2020/03/28/15343921/ada-pandemi-covid-19-phdi-imbau-umat-hindu-tak-sembahyang-bersama

[4] https://tirto.id/merayakan-waisak-di-tengah-pandemi-covid-19-fni3

[5]https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/umat-konghucu-indonesia-rayakan-imlek-tahun-ini-secara-virtual/

[6]ibid

 

Artikel telah dimuat di platform Medium Alteria Lab:

https://alteria-lab.medium.com/proses-ritual-keagamaan-dalam-masa-masa-pandemi-1d6af66678a0

Ilustrasi: Anastasya Levina

Saturday 31 March 2018



Pada suatu waktu, aku pernah diceritakan oleh seorang pemuda yang mendapatkan pesan dari sang  ibu untuk pulang ke kota kelahirannya, dengan membawa guci kremasi mendiang ibunya kepada sebuah nama. Namun, perjalanan yang dilakukannya tidak berjalan sesuai rencana.

Ia ditakdirkan untuk bertemu dengan sang ayah yang asing bagi dirinya. Sang ayah adalah seorang diktator kejam di kota tersebut. Pertemuan dirinya dengan sang ayah adalah sebuah insiden penahanan para pemberontak pemerintahan. Namun ayahnya lebih menyebutnya sebagai penjamuan untuk sang anak yang sudah lama tak kembali ke kota kelahiran.

Dalam jamuan tersebut ia harus memilih bergabung dengan para pemberontak dalam meruntuhkan rezim sang ayah yang otoriter, atau ikut menikmati jamuan yang disiapkan ayahnya dan kemudian membiarkan ia melakukan apa yang sudah menjadi tujuan untuk datang ke kota ini, melaksanakan permintaan ibunya dan kemudian memulangkan dirinya dengan damai.

Namun kurasa ia adalah seseorang yang benci dengan rezim otoriter dan ikut bergabung dengan kelompok pemberontak. Ia melakukan pemberontakan itu meskipun harus melupakan tujuan utama dirinya datang ke kota ini.

Singkat waktu, berbagai perlawanan telah dilakukan hingga pada akhirnya ia dipertemukan kembali dengan ayahnya secara empat mata. Sang ayah mengatakan bahwa ia tidak memberikan pilihan di awal pertemuan, ia hanya mengatakan kepada si pemuda untuk hanya duduk dan menunggu sehingga ia bisa mengantarkannya untuk memenuhi permintaan sang ibu si pemuda. Kemudian sang ayah kali ini benar - benar memberikan sebuah pilihan, sang pemuda bisa meletuskan pistolnya di kepala sang ayah, atau sang pemuda ikut dengan dirinya untuk makan bersama kemudian mengantarkan sang ibu kepada sebuah nama dan memberikan penjelasan atas semua hal. Sang pemuda teringat kembali dengan tujuan awalnya dan mempertanyakan kembali perlawanan yang ia lakukan selama ini. Kemudian sang pemuda mengikuti jamuan sang ayah dan kemudian mengikuti ayahnya keluar dan mendengarkan sebuah cerita.

Ayah kandung sang pemuda adalah seorang pendiri gerakan pemberontak pemerintah di kota tersebut. Kemudian sang ayah kandung mempunyai strategi untuk mengirimkan istrinya sebagai intel cinta. Namun keadaan memburuk ketika ibu sang pemuda balik mencintai sang ayah tiri yang merupakan pemerintah diktator dan menghasilkan anak dari keduanya. Ayah kandungnya pun murka dan kemudian membunuh saudara tiri sang pemuda. Sang ibu yang pada saat itu sangat terkejut dengan tragedi tersebut tidak sengaja membunuh suaminya dan kemudian melarikan diri ke negara lain.

Itulah apa yang diceritakan oleh sang ayah tiri. Lalu, ia menunjukkan kepada sebuah nama yang pernah terdapat pada permintaan ibunya, terletak pada makam sang saudara tiri si pemuda. Badan sang pemuda bergetar  menyadari hal tersebut dan menaruh guci kremasi sang ibu disebelah makam milik saudara tiri sang pemuda.

Ia lengah ketika menaruh guci ibunya dan menyadari bahwa sang ayah tiri sudah berada di helikopter untuk melarikan diri. Sang ayah tiri berpesan bahwa sang pemuda dapat meneruskan dinastinya. Namun ideologi sang pemuda menuntutnya untuk bertindak. Sebelum helikopter lepas landas dari permukaan, sang pemuda menembakkan peluru pistol tepat di kepala sang ayah tiri. Dan kemudian kembali bersama para pemberontak, membawakan berita bahwa dirinya berhasil membunuh sang diktator.

Kebahagiaan pun dirasakan di penjuru kota. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Singkat waktu, jendral dari kelompok pemberontak mengambil alih kekuasaan dan menjadi diktator yang jauh lebih kejam dari sebelumnya di kota tersebut. Bisa jadi sang jendral yang kini menjadi diktator dan mengusir sang pemuda dari tanah kelahirannya tanpa rasa terima kasih, atau mungkin  lebih buruknya dengan menghujani badan sang pemuda dengan peluru senapan mesin yang dipegang oleh pasukannya.

Dalam keadaan ini sang pemuda menyadari bahwa dirinya menyesal pada sebuah pilihan. Seandainya pada saat itu ia langsung melaksanakan tujuannya datang ke kota tersebut mungkin tidak akan berakhir seperti ini dan bisa dengan damai memenuhi permintaan mendiang sang ibu. Dan hal itu menjadi suatu keniscayaan melalui apa yang telah dialami oleh sang pemuda bahwa selama ini sang ayah tiri menyayangi dirinya dan tidak pernah mengingkari janji kepada sang pemuda.

Kisah ini berasal dari video game berjudul Farcry 4 yang kemudian saya narasikan kembali.